Judi daring atau judi online belakangan tengah ramai menghiasi rubrik-rubrik pemberitaan nasional. Satu di antara kita tentu pernah tanpa sengaja melihat iklan judi online. Pesatnya kemajuan teknologi berdampak kepada menjamurnya situs-situs judi online.
Perputaran uang yang besar dari judi online telah menyeret berbagai kalangan terlibat dalam gurita bisnis judi online. Dari anggota dewan hingga pesohor Tanah Air kedapatan terlibat dalam lingkaran judi online, dari yang memainkan hingga yang mempromosikan.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat hingga Agustus 2023 transaksi judi online mencapai Rp 200 trilliun. Angka ini naik drastis dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 81 trilliun. Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memblokir 1.700 rekening bank yang terkait dengan judi online.
Ge(mer)lapnya dunia perjudian
Persoalan judi online tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak dampak negatif yang dihasilkan dari praktik perjudian ini, mulai dari yang mendekam di rumah sakit jiwa karena kadung keranjingan bermain judi online, hingga mereka yang nekat melakukan tindakan kriminal karena diiringi motif judi online.
Sejak era prakolonial, bangsa Indonesia memang tak lepas dari kasus perjudian. Seolah perjudian menjadi momok, banyak para penguasa di masanya masing-masing berusaha memberangus perjudian ini, tetapi tak sedikit juga yang melihat potensi perjudian kemudian berdamai dan memilih memaksimalkan perputaran uang dari hasil perjudian.
Walaupun bertentangan dengan norma dan moral keagamaan, faktanya meja judi tak pernah sepi peminat. Di masa VOC berkuasa, masyarakat Batavia kerap menghabiskan waktunya di meja judi.
Puncaknya pada awal abad ke-18 banyak bermunculan rumah judi ilegal yang membuat pemerintah VOC berang. VOC pada akhirnya menggulirkan sejumlah aturan untuk mengendalikan perjudian, seperti melarang rumah judi beroperasi pada hari Minggu, hari raya, sekaligus memperketat jam operasional rumah judi. Tak sampai di situ, pemerintah kolonial juga melarang orang Eropa dan pribumi bermain judi. VOC bubar, tetapi tidak demikian dengan perjudian.
Banyak literatur yang membahas mengenai sejarah perjudian dari aspek perpajakan hingga hukum. Namun, tak ada yang paling dikenang melebihi masyhurnya cerita Gubernur Jakarta Ali Sadikin.
Dengan hanya bermodal APBD Rp 66 juta, Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, harus membangun ibu kota yang saat itu dihuni lebih dari 3 juta jiwa. Tugas Bang Ali teramat besar saat itu, di satu sisi ia harus memastikan pembangunan Ibu Kota terus berjalan, tetapi di lain sisi warga Ibu Kota banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, adapun orang kaya Jakarta banyak yang enggan membayar pajak saat itu.
Puncaknya, Ali Sadikin melegalkan perjudian pada 1967 melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 805/A/k/BKD/1967.
Satu-satunya cara Bang Ali harus mencari sumber pemasukan baru yang bisa dipajaki. Puncaknya, Ali Sadikin melegalkan perjudian pada 1967, melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 805/A/k/BKD/1967, dengan dasar hukum UU Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.
Hasilnya, kebijakan ini berhasil dan pemasukan Jakarta meroket. Dari uang haram ini, pemerintah Jakarta dapat membangun fasilitas sekolah, Taman Ismail Marzuki, terpeliharanya jalan-jalan Ibu Kota, serta membenahi perkampungan kumuh. Di akhir kepemimpinannya, Ali Sadikin (1977) berhasil mewariskan APBD yang 1.800 kali lipat dari sebelumnya, yaitu mencapai Rp 122 miliar.